
Kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) adalah sebuah “perkawinan” jangka panjang. Ini bukanlah kontrak pengadaan sederhana yang selesai dalam satu atau dua tahun. Kontrak public private partnership (KPBU) seringkali berlangsung selama 20, 25, atau bahkan 30 tahun. Dalam rentang waktu sepanjang itu, perubahan adalah satu-satunya hal yang pasti. Akan ada perubahan regulasi, fluktuasi ekonomi, kejadian force majeure, atau bahkan teknologi baru yang tidak terbayangkan saat kontrak ditandatangani.
Karena kompleksitas dan durasi yang panjang inilah, potensi terjadinya perbedaan pandangan, perselisihan, atau sengketa (dispute) nyaris tidak terhindarkan.
Banyak yang mengira bahwa membicarakan penyelesaian sengketa di awal adalah pertanda buruk, seolah-olah meramalkan kegagalan. Justru sebaliknya. Dalam proyek infrastruktur skala besar, memiliki klausul penyelesaian sengketa yang jelas, bertahap, dan adil di dalam kontrak adalah tanda perencanaan yang matang. Ini adalah “jaring pengaman” yang melindungi semua pihak—Pemerintah (PJPK), Badan Usaha (BUP), dan yang terpenting, keberlangsungan layanan publik itu sendiri.
Mengapa Sengketa Sangat Rentan Terjadi di Kontrak KPBU?
Sebelum membahas solusinya, kita perlu memahami mengapa kontrak public private partnership adalah “lahan subur” bagi perselisihan.
- Sifat Kontrak Jangka Panjang (Long-Term): Perjanjian 25 tahun dibuat berdasarkan asumsi-asumsi ekonomi dan teknis di Tahun ke-0. Apa yang terjadi jika di Tahun ke-10, terjadi pandemi global (seperti COVID-19) yang meruntuhkan prediksi volume lalu lintas jalan tol? Apa yang terjadi jika di Tahun ke-15, ditemukan teknologi pengolahan air yang jauh lebih murah? Kontrak harus bisa beradaptasi, dan proses adaptasi inilah yang sering menimbulkan sengketa.
- Kompleksitas Teknis dan Finansial: Proyek KPBU sangat rumit. Ini melibatkan desain teknis canggih, skema pembiayaan berlapis (project finance), dan puluhan sub-kontraktor.
- Alokasi Risiko: Inti dari KPBU adalah alokasi risiko—risiko diberikan kepada pihak yang paling mampu mengelolanya. Namun, “area abu-abu” sering muncul. Misalnya, jika proyek terlambat karena izin dari pemda lain (di luar PJPK) terhambat, apakah itu risiko pemerintah (risiko regulasi) atau risiko swasta (risiko manajemen perizinan)? Interpretasi inilah yang menjadi sumber sengketa.
- Standar Kinerja (KPI): Dalam skema Availability Payment (AP), pemerintah membayar swasta berdasarkan ketersediaan layanan. Sengketa bisa muncul jika pemerintah merasa layanan tidak sesuai standar (misal: jalan berlubang melebihi batas toleransi, waktu tunggu layanan RS terlalu lama), sementara swasta merasa sudah memenuhi KPI.
- Peristiwa Kahar (Force Majeure): Gempa bumi, banjir besar, atau perang dapat menghancurkan aset. Siapa yang bertanggung jawab untuk membangun kembali? Bagaimana skema pembayarannya? Ini semua harus diatur dan seringkali menjadi perdebatan sengit.
Filosofi Utama: Menghindari Pengadilan Konvensional
Langkah pertama dalam merancang solusi sengketa KPBU adalah satu kesepakatan: Menghindari litigasi (pengadilan negeri) sebisa mungkin.
Mengapa?
- Lambat: Proses di pengadilan negeri bisa memakan waktu bertahun-tahun, melalui berbagai tingkat banding (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung).
- Publik (Terbuka): Sifat persidangan yang terbuka dapat merusak reputasi dan kepercayaan investor.
- Kurangnya Keahlian Teknis: Sengketa KPBU adalah masalah teknis dan finansial yang rumit (misal: menghitung kerugian akibat perubahan desain). Hakim di pengadilan umum mungkin tidak memiliki keahlian spesifik di bidang infrastruktur.
- Menghentikan Proyek: Sengketa di pengadilan seringkali berarti “stop kerja”, yang berakibat pada terhentinya layanan publik.
Tujuan utama dari mekanisme sengketa KPBU bukanlah untuk mencari “siapa yang menang”, tetapi untuk “bagaimana agar proyek tetap berjalan” (keep the project going) sambil menyelesaikan masalah secara adil dan cepat.
Oleh karena, kontrak public private partnership yang baik selalu menerapkan mekanisme penyelesaian sengketa bertahap (tiered dispute resolution clause).
Tiga Pilar Penyelesaian Sengketa dalam Kontrak KPBU
Secara global, termasuk yang diatur dalam regulasi KPBU Indonesia (seperti Perpres 38/2015 dan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase), ada tiga pilar utama yang disepakati, yang harus ditempuh secara berurutan.
Pilar 1: Mediasi (Jalur Musyawarah yang Difasilitasi)
Ini hampir selalu menjadi langkah wajib pertama ketika negosiasi informal antar manajer proyek gagal.
- Apa itu? Proses negosiasi yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral dan independen (Mediator).
- Proses: Mediator tidak membuat keputusan. Mediator hanya “menjembatani” komunikasi, membantu para pihak melihat masalah dari sudut pandang lain, dan memandu mereka untuk menemukan solusi yang win-win (atau setidaknya mutually acceptable).
- Sifat: Non-binding (tidak mengikat), kecuali para pihak setuju untuk menandatangani “Perjanjian Perdamaian” (Settlement Agreement) yang kemudian mengikat secara hukum.
- Kelebihan: Cepat, murah, rahasia, dan yang terpenting, menjaga hubungan baik antara pemerintah dan swasta. Ini penting, karena mereka masih harus “hidup bersama” selama 20 tahun lagi.
Pilar 2: Ajudikasi (Wasit Teknis di Lapangan)
Jika mediasi gagal, atau jika sengketa bersifat sangat teknis dan mendesak (terutama selama masa konstruksi), kontrak KPBU modern sering menyertakan Ajudikasi, atau yang sering dikenal sebagai Dispute Adjudication Board (DAB).
- Apa itu? Sebuah panel (biasanya 1 atau 3 orang) yang terdiri dari para ahli teknis dan industri (misal: insinyur senior) yang telah ditunjuk sejak awal proyek.
- Proses: Ketika sengketa teknis muncul (misal: “Apakah kualitas beton ini sesuai spesifikasi?”), sengketa itu dibawa ke DAB. DAB akan memeriksa fakta teknis dengan cepat dan mengeluarkan keputusan.
- Sifat: Cepat dan Temporarily Binding (Mengikat Sementara). Ini adalah konsep kuncinya.
- Tujuan: Ajudikator bertindak sebagai ‘wasit teknis’ di tengah pertandingan; keputusannya harus ditaati agar permainan (proyek) tetap berjalan, meski salah satu pihak berencana protes resmi nanti.
- Artinya, kedua belah pihak harus mematuhi keputusan ajudikator saat itu juga (misal: “Swasta harus memperbaiki, Pemerintah harus membayar”) agar proyek tidak berhenti. Jika salah satu pihak tidak puas, mereka bisa “mencatat ketidaksetujuan” (notice of dissatisfaction) dan membawanya ke Arbitrase setelah proyek selesai. Ini menjaga cash flow dan progres konstruksi.
Pilar 3: Arbitrase (Pengadilan Swasta yang Final)
Ini adalah “benteng terakhir” jika mediasi gagal atau jika salah satu pihak tidak puas dengan keputusan ajudikasi. Arbitrase adalah alternatif dari pengadilan negeri.
- Apa itu? Proses penyelesaian sengketa di mana para pihak menyerahkan kasus mereka kepada satu atau tiga orang arbiter (yang mereka pilih sendiri), yang akan bertindak sebagai “hakim swasta”.
- Proses: Mirip dengan persidangan (ada pengajuan bukti, saksi ahli), tetapi jauh lebih fleksibel, cepat, dan rahasia (tertutup untuk umum). Para arbiter biasanya adalah ahli hukum dan ahli industri yang relevan.
- Pilihan Forum (Domisili): Ini adalah salah satu poin negosiasi kontrak yang paling alot. Apakah arbitrase akan dilakukan di bawah aturan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia)? Atau forum internasional seperti SIAC (Singapura) atau ICC (Paris)? Investor internasional seringkali lebih nyaman dengan forum netral di luar negeri.
- Sifat: Final and Binding (Final dan Mengikat). Putusan arbitrase (disebut award) memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan ini tidak bisa dibanding, dan dapat dieksekusi melalui pengadilan negeri.
Peran Penjaminan dalam Mencegah Sengketa
Lembaga penjaminan seperti PT PII (Penjaminan Infrastruktur Indonesia) memainkan peran vital, tidak hanya saat sengketa terjadi, tetapi dalam mencegah sengketa.
Saat PT PII memberikan penjaminan atas risiko politik pemerintah, mereka akan melakukan due diligence yang sangat ketat terhadap Perjanjian Kerjasama (PKS). PT PII memastikan bahwa PKS tersebut sudah “bankable” dan adil, termasuk memastikan bahwa klausul alokasi risiko dan mekanisme penyelesaian sengketa (seperti tiga pilar di atas) telah dirumuskan dengan jelas dan sesuai standar internasional.
Kontrak yang jelas sejak awal, yang difasilitasi oleh penjamin, adalah pencegahan sengketa terbaik.
Kesimpulan
Sengketa dalam kontrak public private partnership bukanlah pertanyaan “jika”, melainkan “kapan”. Oleh karena itu, kerangka kerja penyelesaian sengketa yang kuat dan bertahap—mulai dari mediasi yang bersahabat, ajudikasi teknis yang cepat, hingga arbitrase yang final dan mengikat—adalah sebuah keharusan. Ini adalah jaring pengaman yang memberikan kepastian hukum bagi investor dan jaminan keberlangsungan layanan bagi publik.
Menyusun Perjanjian Kerjasama public private partnership yang adil dan memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang kokoh adalah fondasi utama keberhasilan proyek infrastruktur jangka panjang. Jika Anda membutuhkan panduan, konsultasi, atau layanan penjaminan untuk memastikan proyek Anda aman secara hukum dan finansial, PT PII adalah mitra strategis Anda.
InfoKerenMu Pusat Informasi Keren